SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG SELAMAT DATANG SELAMAT DATANG

Sabtu, 24 Maret 2012

Pasal 14


 BAB VI

JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Kesatu

Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan



Pasal 14



(1)  Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan untuk  menghubungkan
semua wilayah di daratan.



(2)  Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sesuai dengan kebutuhan.

 (3) Rencana . . .









 - 14 -

(3)  Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.   Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Nasional;

b.   Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Provinsi; dan

c.   Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Kabupaten/Kota.



 Pasal 15



(1)  Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf a disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang
kegiatan berskala nasional. 



(2)  Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk

Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan  Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.



(3)  Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Nasional memuat:
a.  prakiraan perpindahan orang dan/atau barang

menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;

b.  arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda
transportasi;

c.  rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan
d.  rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.



Pasal 16

(1)  Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf b disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.  



(2)  Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk

Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan:
a.  Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b.  Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan

c. Rencana . . .









 - 15 -

c.  Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Nasional.



 (3)  Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Provinsi memuat:
a.   prakiraan perpindahan orang dan/atau barang

menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;

b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda
transportasi;

c.  rencana lokasi dan kebutuhan Simpul  provinsi; dan
d.  rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.



 Pasal 17



(1)  Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan
mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala
kabupaten/kota. 


(2)  Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk

Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan:
a.    Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b.   Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Nasional;

c.    Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
d.   Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Provinsi; dan

e.    Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.



 (3)  Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Kabupaten/Kota memuat:
a.  prakiraan perpindahan orang dan/atau barang

menurut asal tujuan perjalanan lingkup
kabupaten/kota;

b.  arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan
moda transportasi;

c.  rencana lokasi dan kebutuhan Simpul

kabupaten/kota; dan

 d. rencana . . .









 - 16 -

d.  rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas

kabupaten/kota. 



Pasal 18



 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
diatur dengan peraturan pemerintah.




 Bagian Kedua

Ruang Lalu Lintas

Paragraf 1

Kelas Jalan

Pasal 19



(1)  Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan: 

a.  fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan

pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan; dan 

b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu

terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.  



 (2)   Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: 
a.  jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang

dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran
lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000
(delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 10 (sepuluh) ton; 

b.  jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan

lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu
lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling
tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan
muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; 



 c. jalan . . .









 - 17 -

c.  jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan

lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu
seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi
9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi
3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan
sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan

d.  jalan kelas khusus, yaitu  jalan arteri yang dapat

dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar
melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter,
ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu)
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua
ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih
dari 10 (sepuluh) ton.



 (3)  Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat
ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8
(delapan) ton.


(4)  Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan

prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.


(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur
dengan peraturan pemerintah.

 

 Pasal 20



 (1)  Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan

oleh:
a.  Pemerintah, untuk jalan nasional;
b.  pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
c.  pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau
d.  pemerintah kota, untuk jalan kota.



 (2)  Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.


(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas

jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata
cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.



 Paragraf 2 . . .









 - 18 -

   Paragraf 2

     Penggunaan dan Perlengkapan Jalan



   Pasal 21



(1)  Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang

ditetapkan secara nasional.

  (2)  Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan
permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan
jalan bebas hambatan.



(3)  Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan

khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan
batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.



(4)  Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas

hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam
puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.



(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan pemerintah.

 

 Pasal 22



(1)  Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan

laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.



(2)  Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan

fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan. 



(3)  Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi

Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau sesuai dengan kebutuhan. 



(4)  Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi
Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan. 



(5)  Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi 
yang bertanggung jawab di bidang  sarana dan Prasarana
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta  Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

 (6) Hasil . . .









 - 19 -

(6)  Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan

ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang
bertanggung jawab di bidang  sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia.


(7)  Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.



 Pasal 23



(1)  Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi

Jalan dan/atau peningkatan  kapasitas Jalan  wajib
menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan
Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.  


(2)  Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi
dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.


 Pasal 24



(1)  Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk

memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.


(2)  Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang

rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu
pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas.



 Pasal 25



(1)  Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum

wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:

a.    Rambu Lalu Lintas;

b.   Marka Jalan;

c.    Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;

d.    alat penerangan Jalan;

e.    alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;

f. alat . . .









 - 20 -

f.    alat pengawasan dan pengamanan Jalan; 

g.   fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang

cacat; dan

h.   fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar
badan Jalan.



 (2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.

 

 Pasal 26



(1)  Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:
a.    Pemerintah untuk jalan nasional;
b.    pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c.   pemerintah kabupaten/kota untuk jalan

kabupaten/kota dan jalan desa; atau

d.    badan usaha jalan tol untuk jalan tol.



 (2)  Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

 

 Pasal 27



 (1)  Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu

disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume
Lalu Lintas.



 (2)  Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan

pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan
daerah.

 

Pasal 28

(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang

mengakibatkan  kerusakan dan/atau gangguan fungsi
Jalan.


(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang 

mengakibatkan  gangguan pada fungsi perlengkapan

Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar