|
|
Pasal 144
|
|
Jaringan trayek dan
kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum
disusun berdasarkan:
a. tata ruang wilayah;
b. tingkat permintaan jasa angkutan;
|
c. kemampuan . . .
|
|
|
|
- 76 -
|
c. kemampuan penyediaan jasa angkutan;
d. ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
e. kesesuaian dengan kelas jalan;
f. keterpaduan intramoda angkutan; dan
g. keterpaduan antarmoda angkutan.
|
|
Pasal 145
|
|
(1) Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan
Bermotor
|
Umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 144 disusun
dalam bentuk rencana umum
jaringan trayek.
|
(2) Penyusunan rencana umum jaringan trayek
sebagaimana
|
dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara terkoordinasi
dengan instansi terkait.
|
(3)
Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud
|
pada ayat (1) terdiri
atas:
a. jaringan trayek lintas batas negara;
b. jaringan trayek antarkota antarprovinsi;
c. jaringan trayek antarkota dalam provinsi;
d. jaringan trayek perkotaan; dan
e. jaringan trayek perdesaan.
|
(4)
Rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud
|
pada ayat (1) dikaji
ulang secara berkala paling lama 5
(lima) tahun.
|
Pasal 146
|
|
(1) Jaringan trayek perkotaan sebagaimana
dimaksud dalam
|
Pasal 145 ayat (3) huruf
d disusun berdasarkan kawasan
perkotaan.
|
|
(2) Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan
|
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh:
|
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana
|
dan Prasana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan untuk
kawasan perkotaan yang
melampaui batas wilayah
provinsi;
|
b. gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui
|
batas wilayah
kabupaten/kota dalam satu provinsi;
atau
|
c. bupati/walikota untuk kawasan perkotaan
yang
|
berada dalam wilayah
kabupaten/kota.
|
Pasal 147 . . .
|
|
|
|
- 77 -
|
Pasal
147
|
|
(1)
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor
|
Umum lintas batas negara
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 145 ayat (3) huruf
a ditetapkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan
sesuai dengan perjanjian
antarnegara.
|
|
(2) Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud
pada ayat
|
(1) dibuat berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
|
|
Pasal 148
|
Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan
Bermotor Umum
|
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3)
huruf b, huruf c, dan
huruf d ditetapkan oleh:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan
|
Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan untuk jaringan
trayek dan kebutuhan
Kendaraan Bermotor Umum
antarkota antarprovinsi
dan perkotaan yang melampaui
batas 1 (satu) provinsi;
|
b. gubernur untuk jaringan trayek dan kebutuhan
|
Kendaraan Bermotor
Umum antarkota dalam provinsi
dan perkotaan
yang melampaui batas 1 (satu)
kabupaten/kota dalam 1
(satu) provinsi setelah mendapat
persetujuan dari Menteri
yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; atau
|
c. bupati/walikota untuk jaringan trayek dan kebutuhan
|
Kendaraan Bermotor Umum
perkotaan dalam 1 (satu)
wilayah
kabupaten/kota setelah mendapat
persetujuan
dari Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
|
|
Pasal 149
|
|
Jaringan trayek dan
kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum
perdesaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3)
huruf e ditetapkan oleh:
a. bupati untuk kawasan perdesaan yang
menghubungkan 1
|
(satu) daerah kabupaten;
|
b. gubernur untuk kawasan perdesaan yang
melampaui 1
|
(satu) daerah kabupaten
dalam 1 (satu) daerah provinsi;
atau
|
c. Menteri . . .
|
|
|
|
- 78 -
|
c. Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan
|
Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan untuk
kawasan perdesaan yang
melampaui satu daerah provinsi.
|
|
Pasal 150
|
Ketentuan lebih lanjut
mengenai angkutan orang dengan
Kendaraan Bermotor Umum
dalam trayek diatur dengan
peraturan pemerintah.
|
|
|
Paragraf
4
|
Angkutan Orang dengan Kendaraan
Bermotor Umum Tidak dalam Trayek
|
|
Pasal 151
|
|
Pelayanan angkutan orang
dengan Kendaraan Bermotor
Umum tidak dalam trayek
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140 huruf b terdiri
atas:
a. angkutan orang dengan menggunakan taksi;
b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;
c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata;
dan
d. angkutan orang di kawasan tertentu.
|
|
Pasal 152
|
|
(1) Angkutan orang dengan menggunakan taksi
|
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 151 huruf a harus
digunakan untuk pelayanan angkutan dari pintu ke
pintu dengan wilayah
operasi dalam kawasan perkotaan.
|
|
(2) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan
sebagaimana
|
dimaksud pada ayat (1)
dapat:
a. berada dalam wilayah kota;
b. berada dalam wilayah kabupaten;
c. melampaui wilayah kota atau wilayah
kabupaten
|
dalam 1 (satu) daerah
provinsi; atau
|
d. melampaui wilayah provinsi.
|
|
(3) Wilayah operasi dalam kawasan perkotaan
sebagaimana
|
dimaksud pada ayat (2)
dan jumlah maksimal kebutuhan
taksi ditetapkan
oleh:
a. walikota untuk taksi yang wilayah
operasinya berada
|
dalam wilayah kota;
|
b. bupati . . .
|
|
|
|
- 79 -
|
b. bupati untuk taksi yang wilayah operasinya
berada
|
dalam wilayah kabupaten;
|
c. gubernur untuk taksi yang wilayah
operasinya
|
melampaui wilayah kota
atau wilayah kabupaten
dalam 1 (satu) wilayah
provinsi; atau
|
d. Menteri yang bertanggung jawab di bidang
sarana dan
|
Prasarana Lalu lintas dan
Angkutan Jalan untuk
taksi yang wilayah
operasinya melampaui wilayah
provinsi.
|
|
Pasal 153
|
|
(1)
Angkutan orang dengan tujuan tertentu sebagaimana
|
dimaksud dalam Pasal 151
huruf b dilarang menaikkan
dan/atau menurunkan
Penumpang di sepanjang
perjalanan untuk
keperluan lain di luar pelayanan
angkutan orang dalam
trayek.
|
(2) Angkutan orang dengan tujuan tertentu
diselenggarakan
|
dengan menggunakan mobil
penumpang umum atau
mobil bus umum.
|
|
Pasal 154
|
|
(1) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata
|
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 151 huruf c harus
digunakan untuk pelayanan
angkutan wisata.
|
(2) Penyelenggaraan angkutan orang untuk
keperluan
|
pariwisata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus
menggunakan mobil
penumpang umum dan mobil bus
umum dengan tanda khusus.
|
(3) Angkutan orang untuk keperluan pariwisata
tidak
|
diperbolehkan menggunakan
Kendaraan Bermotor
Umum dalam trayek,
kecuali di daerah yang belum
tersedia angkutan khusus
untuk pariwisata.
|
|
Pasal 155
|
|
(1) Angkutan di kawasan tertentu sebagaimana
dimaksud
|
dalam Pasal 151 huruf d
harus dilaksanakan melalui
pelayanaan angkutan di
jalan lokal dan jalan lingkungan.
|
|
(2) Angkutan . . .
|
|
|
|
- 80 -
|
(2) Angkutan orang di kawasan tertentu
sebagaimana
|
dimaksud pada ayat (1)
harus menggunakan mobil
penumpang umum.
|
|
Pasal 156
|
|
Evaluasi wilayah operasi dan kebutuhan
angkutan orang
tidak dalam trayek
dilakukan sekurang-kurangnya sekali
dalam 1 (satu) tahun dan
diumumkan kepada masyarakat.
|
|
Pasal 157
|
|
Ketentuan lebih lanjut
mengenai angkutan orang dengan
Kendaraan Bermotor Umum
tidak dalam trayek diatur dengan
peraturan Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana
dan Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
|
|
Paragraf 5
|
Angkutan Massal
|
|
Pasal 158
|
|
(1) Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan
massal
|
berbasis Jalan untuk
memenuhi kebutuhan angkutan
orang dengan Kendaraan
Bermotor Umum di kawasan
perkotaan.
|
(2) Angkutan massal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
|
harus didukung dengan:
a. mobil bus yang berkapasitas angkut
massal;
b. lajur khusus;
c. trayek angkutan umum lain yang tidak
berimpitan
|
dengan trayek angkutan
massal; dan
|
d. angkutan pengumpan.
|
|
Pasal 159
|
|
Ketentuan lebih lanjut
mengenai angkutan massal
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158 diatur dengan
peraturan Menteri yang
bertanggung jawab di bidang sarana
dan Prasarana Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
|
|
|
Bagian Keempat . . .
|
|
|
|
|
- 81 -
|
Bagian Keempat
|
Angkutan Barang dengan Kendaraan Bermotor
Umum
|
Paragraf 1
|
Umum
|
|
Pasal 160
|
|
Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor
Umum terdiri
atas:
a. angkutan barang umum; dan
b. angkutan barang khusus.
|
|
|
Paragraf 2
|
Angkutan Barang Umum
|
|
Pasal 161
|
|
Pengangkutan barang umum
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 160 huruf a harus
memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. prasarana Jalan yang dilalui memenuhi
ketentuan kelas
|
Jalan;
|
b. tersedia pusat distribusi logistik dan/atau
tempat untuk
|
memuat dan membongkar
barang; dan
|
c. menggunakan mobil barang.
|
|
|
Paragraf 3
|
Angkutan Barang Khusus
dan Alat Berat
|
|
Pasal 162
|
|
(1) Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang
khusus
|
wajib:
a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai
dengan
|
sifat dan bentuk barang
yang diangkut;
|
b. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang
yang
|
diangkut;
|
c. memarkir Kendaraan di tempat yang
ditetapkan;
|
d. membongkar . . .
|
|
|
|
- 82 -
|
d. membongkar dan memuat barang di tempat
yang
|
ditetapkan dan dengan
menggunakan alat sesuai
dengan sifat dan bentuk
barang yang diangkut;
|
e. beroperasi pada waktu yang tidak
mengganggu
|
Keamanan, Keselamatan,
Kelancaran, dan Ketertiban
Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; dan
|
f. mendapat rekomendasi dari instansi
terkait.
|
(2) Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut
alat berat
|
dengan dimensi yang
melebihi dimensi yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 harus mendapat
pengawalan dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|
(3)
Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan
|
Bermotor Umum yang
mengangkut barang khusus wajib
memiliki kompetensi
tertentu sesuai dengan sifat dan
bentuk barang khusus yang
diangkut.
|
|
Pasal
163
|
|
(1)
Pemilik, agen ekspedisi muatan angkutan barang, atau
|
pengirim yang menyerahkan
barang khusus wajib
memberitahukan kepada
pengelola pergudangan
dan/atau penyelenggara
angkutan barang sebelum
barang dimuat ke dalam
Kendaraan Bermotor Umum.
|
(2) Penyelenggara angkutan barang yang
melakukan
|
kegiatan pengangkutan
barang khusus wajib
menyediakan tempat
penyimpanan serta bertanggung
jawab terhadap penyusunan
sistem dan prosedur
penanganan barang khusus
dan/atau berbahaya selama
barang tersebut belum
dimuat ke dalam Kendaraan
Bermotor Umum.
|
|
Pasal 164
|
|
Ketentuan lebih lanjut
mengenai angkutan barang dengan
Kendaraan Bermotor
Umum diatur dengan peraturan Menteri
yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan
Jalan.
|
|
|
|
Bagian Kelima . . .
|
|
|
|
- 83 -
|
Bagian Kelima
|
Angkutan Multimoda
|
|
Pasal 165
|
|
(1) Angkutan umum di Jalan yang merupakan
bagian
|
angkutan multimoda
dilaksanakan oleh badan hukum
angkutan multimoda.
|
(2) Kegiatan angkutan umum dalam angkutan
multimoda
|
dilaksanakan berdasarkan
perjanjian yang dibuat antara
badan hukum angkutan
Jalan dan badan hukum
angkutan multimoda
dan/atau badan hukum moda lain.
|
(3) Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu
secara
|
sistem dan mendapat izin
dari Pemerintah.
|
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan
multimoda,
|
persyaratan, dan tata
cara memperoleh izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan
pemerintah.
|
|
|
Bagian Keenam
|
Dokumen Angkutan Orang dan Barang
|
dengan Kendaraan Bermotor Umum
|
Pasal 166
|
|
(1)
Angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
|
yang melayani trayek
tetap lintas batas negara, antarkota
antarprovinsi, dan
antarkota dalam provinsi harus
dilengkapi dengan
dokumen.
|
(2) Dokumen
angkutan orang sebagaimana
dimaksud pada
|
ayat (1) meliputi:
a. tiket Penumpang umum untuk angkutan dalam
|
trayek;
|
b. tanda pengenal bagasi; dan
c. manifes.
|
|
(3)
Angkutan barang dengan Kendaraan Bermotor Umum
|
wajib dilengkapi dengan
dokumen yang meliputi:
a. surat perjanjian pengangkutan; dan
b. surat muatan barang.
|
Pasal 167 . . .
|
|
|
|
- 84 -
|
Pasal 167
|
|
(1)
Perusahaan Angkutan Umum orang wajib:
|
a. menyerahkan tiket Penumpang;
b. menyerahkan tanda bukti pembayaran
|
pengangkutan untuk
angkutan tidak dalam trayek;
|
c. menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada
|
Penumpang; dan
|
d. menyerahkan manifes kepada Pengemudi.
|
|
(2)
Tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang
|
namanya
tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen
identitas
diri yang sah.
|
Pasal 168
|
|
(1) Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut
barang
|
wajib membuat surat
muatan barang sebagai bagian
dokumen perjalanan.
|
(2) Perusahaan Angkutan Umum yang mengangkut
barang
|
wajib membuat surat
perjanjian pengangkutan barang.
|
|
|
Bagian Ketujuh
|
Pengawasan Muatan Barang
|
|
Pasal 169
|
|
(1) Pengemudi dan/atau
Perusahaan Angkutan Umum
|
barang wajib mematuhi
ketentuan mengenai tata cara
pemuatan, daya angkut,
dimensi Kendaraan, dan kelas
jalan.
|
(2) Untuk mengawasi pemenuhan terhadap
ketentuan
|
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan
pengawasan muatan
angkutan barang.
|
(3) Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan
dengan
|
menggunakan alat
penimbangan.
|
(4) Alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3)
|
terdiri atas:
a. alat penimbangan yang dipasang secara
tetap; atau
b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan.
|
Pasal 170 . . .
|
|
|
|
- 85 -
|
|
Pasal
170
|
(1) Alat penimbangan yang dipasang secara tetap
|
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a
dipasang pada lokasi
tertentu.
|
(2) Penetapan lokasi, pengoperasian, dan
penutupan alat
|
penimbangan yang dipasang
secara tetap pada Jalan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah.
|
(3) Pengoperasian dan perawatan alat
penimbangan yang
|
dipasang secara tetap
dilakukan oleh unit pelaksana
penimbangan yang ditunjuk
oleh Pemerintah.
|
|
(4)
Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap
|
wajib mendata jenis
barang yang diangkut, berat
angkutan, dan asal
tujuan.
|
|
Pasal
171
|
|
(1)
Alat penimbangan yang dapat dipindahkan sebagaimana
|
dimaksud dalam Pasal 169
ayat (4) huruf b digunakan
dalam pemeriksaan
Kendaraan Bermotor di Jalan dan
penyidikan tindak pidana
pelanggaran muatan.
|
(2) Pengoperasian alat penimbangan untuk
pemeriksaan
|
Kendaraan Bermotor di
Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan
oleh petugas pemeriksa
Kendaraan Bermotor.
|
(3) Pengoperasian alat penimbangan sebagaimana
dimaksud
|
pada ayat (1) dilakukan
bersama dengan petugas
Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
|
|
Pasal
172
|
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan
muatan
|
angkutan barang diatur dengan peraturan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar